SEJARAH SIRAH MABAWIAH (DALAM SEJARAH HIDUP RASULULLAH)
“Dan jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi:
dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS.An-Nisaa(4):3).
Ayat inilah yang sering dijadikan
pegangan bagi orang-orang yang menerapkan poligami. Padahal ayat ini
sebenarnya merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya yang bila
diperhatikan lebih seksama akan memberikan pengertian lain. Bunyi ayat
tersebut adalah sebagai berikut :
“Dan berikanlah kepada anak-anak
yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik
dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu.
Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa
yang besar”.(QS.An-Nisaa(4):2).
Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud serta
At-Turmuzy meriwayatkan bahwa Urwah ibn Zubair bertanya kepada Aisyah ra
mengenai ayat tersebut diatas. Aisyah menjawab bahwa ayat tersebut
berkaitan dengan anak yatim yang berada dalam pengawasan seorang wali,
dimana hartanya bergabung dengan sang wali. Kemudian karena tertarik
akan kecantikan dan terutama karena hartanya, sang wali bermaksud
mengawininya dengan tujuan agar ia dapat menguasai hartanya. Ia juga
bermaksud tidak memberikan mahar yang sesuai. Aisyah kemudian
melanjutkan penjelasannya bahwa setelah itu beberapa sahabat bertanya
kepada rasulullah saw mengenai perempuan. Maka turunlah ayat 127 surat
An-Nisaa sebagai berikut :
“Dan mereka minta fatwa kepadamu
tentang para wanita. Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang
mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Qur’an (juga
memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada
mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini
mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan (Allah
menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan
kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah
Maha Mengetahuinya”.
Pada waktu ayat ini diturunkan, dalam
tradisi Arab Jahiliah, para wali anak yatim sering mengawini anak
asuhnya disebabkan tertarik akan harta dan kecantikannya, namun bila si
anak yatim tidak cantik ia menghalangi lelaki lain mengawini mereka
karena khawatir harta mereka terlepas dari tangan para wali. Karena
itulah Allah berfirman “jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya)”,(
kamu dalam ayat ini maksudnya ditujukan kepada para wali anak yatim),”
maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau
empat….”
Begitulah penjelasan Aisyah. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa ayat 3 tersebut diatas bukanlah anjuran
untuk berpoligami. Pada kenyataannya poligami telah dikenal dan
dipraktekan berbagai lapisan masyarakat di berbagai penjuru dunia, baik
dunia Barat maupun Timur, sejak dahulu kala dengan jumlah yang tak
terbatas pula. Bahkan sebagian para nabi sebelum rasulullahpun seperti
Ibrahim as, Musa as dan Daud as juga berpoligami.
Jadi bukan agama Islam yang mengajarkan
hal tersebut. Islam memang membolehkan namun hanya sebagai jalan keluar
bagi yang memerlukannya, tergantung situasi dan kondisi, apakah lebih
banyak manfaat atau mudharatnya. Itupun dengan syarat yang tidak mudah
dan membatasinya tidak lebih dari 4. Seorang suami sekaligus ayah dalam
Islam wajib bertanggung jawab terhadap perbuatan dan kebutuhan semua
istri dan anak yang dimilikinya, secara adil.
Namun, bila ditelaah lebih lanjut, ”jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja,… .
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”,
menunjukkan bahwa dengan tidak berpoligami adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya. Karena dengan begitu, seorang suami tidak perlu
merasa ada kekhawatiran berbuat tidak adil terhadap istri maupun
anaknya.
“Dan kamu sekali-kali tidak akan
dapat berlaku adil di antara isteri- isteri (mu), walaupun kamu sangat
ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung
(kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri
(dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.(QS.An-Nisaa(4):129).
Dengan demikian jelas Poligami bukanlah
sunah apalagi wajib. Namun bila alasannya ingin meneladani rasulullah,
perlu diingat bahwa beliau lebih lama bermonogami daripada berpoligami.
Pada saat poligami adalah suatu hal yang lumrah di tanah Arab, dimana
kebanyakan laki-laki beristri hingga lebih dari 10, rasulullah lebih
memilih untuk bermonogami bersama istri tercinta, Siti Khadijjah ra,
selama lebih kurang 25 tahun, hingga akhir hayat sang istri.
Padahal usia rasulullah saat menikah baru
25 tahun, usia dimana dorongan syahwat seorang laki-laki sedang
tinggi-tingginya, sementara Siti Khadijjah sendiri telah berusia 40
tahun. Dan kalaupun rasulullah memang menghendakinya, beliau dapat
dengan mudah menikah lagi dengan banyak perempuan tanpa melanggar adat
dan tradisi yang berlaku pada masa itu. Rasulullah baru menikah lagi
kurang-lebih 2 tahun setelah wafatnya Siti Khadijjah, yaitu pada periode
Madinah, periode yang penuh peperangan.
Jadi sungguh mustahil bila ada yang
berpendapat bahwa rasulullah berpoligami demi mengejar kesenangan
duniawi belaka. Perlu diingat, bahwa semua perempuan yang menjadi istri
rasulullah adalah janda, kecuali Aisyah ra, dan kesemuanya adalah untuk
tujuan menyukseskan dakwah dan membantu menyelamatkan dan mengangkat
derajat perempuan-perempuan yang kehilangan suami.
Bahkan sebenarnya, Allah swt telah
memberikan Rasulullah keleluasaan untuk menikahi perempuan manapun yang
beliau sukai, bila beliau mau. Ini benar-benar kekhususan yang hanya
diberikan Sang Khalik kepada beliau, tidak kepada yang lain. Namun
kenyataannya Rasulullah tidak mau memanfaatkan kesempatan tersebut.
Karena beliau tahu persis betapa sulit dan beratnya tanggung jawab
sebagai seorang suami.
“ Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah
menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya
dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh
dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula)
anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan
dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara
laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu
yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mu’min yang menyerahkan
dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu’min.
Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka
tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya
tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang”.(QS.Al-Ahzab(33):50).
Berikut istri-istri rasulullah dan sedikit latar belakang mengapa rasulullah mengawininya.
1.Khadijjah binti Khuwailid ra.
Ia adalah seorang saudagar perempuan
kaya-raya yang dikenal berahlak mulia dan terhormat. Ia mengetahui bahwa
Muhammad adalah seorang pemuda yang jujur dan berahlak mulia, oleh
sebab itu ia mempercayakan perniagaannya dibawa oleh pemuda tersebut.
Nabi saw menerima wahyu pertama 15 tahun setelah perkawinannya dengan
Khadujjah ra.
Ialah orang pertama yang membenarkan,
mendukung dan mempertaruhkan seluruh kekayaannya demi kelancaran dakwah
Islam. Ia terus mendampingi rasulullah sebagai satu-satunya istri hingga
wafatnya pada usia 65 tahun. Khadijah adalah satu-satunya istri
Rasulullah yang mendapat kepercayaan dari Sang Khalik untuk melahirkan
putra-putri Rasulullah kecuali Maryah Al-Qibthiyyah yang melahirkan
seorang putra. Namun meninggal dunia ketika masih bayi. Dari rahim
Khadijahlah, Rasullullah dikarunia 4 putri dan 2 putra, yaitu Zainab,
Ruqayah, Ummi Kultsum, Fatimah Az-Zahra, Qasim dan Ibrahim. Namun kedua
putra Rasulullah meninggal ketika masih bayi.
2. Saudah binti Zam’ah ra.
Ia seorang janda berumur yang ditinggal
wafat suaminya ketika mereka hijrah ke Habasyah(Ethiopia) guna
menghindari serangan kaum musyrik. Ia terpaksa kembali ke Mekah sambil
menanggung beban kehidupan anak-anaknya dengan resiko dipaksa murtad
oleh kaumnya. Rasulullah menikahinya dalam keadaan demikian.
3. Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq ra.
Ia satu-satunya istri rasulullah yang
ketika dinikahi masih gadis. Abu Bakarlah yang membujuk rasulullah agar
mau mengawini putrinya tersebut, karena ia tidak tega melihat rasulullah
terus bersedih hati ditinggal wafat Khadijjah.
Riwayat lain mengatakan bahwa pernikahan
Rasulullah adalah atas petunjuk Jibril as. Malaikat Jibrillah yang
memperlihatkan gambar Aisyah kepada Rasulullah untuk dinikahi beliau
sepeninggal Khadijah.
4. Hafsah binti Umar Ibnul Khatab ra.
Ayahnya sangat bersedih hati ketika suami
Hafsah wafat. Ia ‘menawarkan’ agar Abu Bakar mau menikahinya, namun
tidak ada jawaban. Demikian juga ketika Umar kembali ‘menawarkan’ kepada
Usman bin Affan. Ketika kemudian ia mengadukan kesedihan ini kepada
rasulullah, beliau menghiburnya dengan menikahi putrinya itu sekaligus
sebagai penghargaan beliau atas sang ayah.
5. Hind binti Abi Umayyah atau Ummu Salamah ra.
Juga seorang janda berumur. Suaminya luka
parah dalam perang Uhud kemudian gugur tak lama kemudian. Rasulullah
menikahinya sebagai penghormatan atas jasa suaminya dan demi menanggung
anak-anaknya.
6. Ramlah binti Abu Sufyan ra atau Ummu Habibah.
Ia meninggalkan orang-tuanya dan
berhijrah ke Habasyah bersama suaminya. Namun sampai ditujuan, sang
suami murtad dan menceraikannya. Untuk menghiburnya, rasulullah
menikahinya sekaligus dengan harapan dapat menjalin hubungan dengan
ayahnya yang waktu itu salah satu tokoh utama kaum musyrik Mekah.
7. Juwairiyah binti Al-Harits ra.
Ia seorang putri kepala suku yang
tertawan dalam salah satu peperangan. Keluarganya datang untuk memohon
kebebasannya. Namun dalam pertemuan tersebut ternyata mereka tertarik
kepada Islam dan kemudian memeluknya, demikian juga Juwairiyah. Sebagai
penghormatan rasulullah menikahinya sambil berharap seluruh anggota
sukunya memeluk Islam. Ternyata harapan tersebut terlaksana.
8.Shaffiyah binti Huyaiy ra.
Ia seorang perempuan Yahudi yang tertawan
dalam perang dan dijadikan hamba sahaya oleh salah seorang pasukan
muslimin yang menawannya. Kemudan ia memohon kepada rasulullah agar
dimerdekakan. Rasulullah mengajukan 2 pilihan ; dimerdekakan dan
dipulangkan kepada keluarganya atau dimerdekakan dan tetap tinggal
bersama kaum muslimin. Ternyata ia memilih tinggal dan malah memeluk
Islam. Sebagai penghargaan rasulullah menikahinya.
9. Zainab binti Jahsyi ra.
Ia sepupu rasulullah dan beliau
menikahkannya dengan Zaid ibn Haritsah, bekas anak angkat dan budak
beliau. Rumah tangga mereka tidak bahagia sehingga mereka bercerai dan
sebagai penanggung jawab perkawinan yang gagal tersebut , rasulullah
menikahinya atas perintah Allah.(lihat QS Al-Ahzab (33):37). Ayat ini
sekaligus merupakan perintah Allah swt untuk membatalkan adat Arab
Jahiliyah yang menganggap anak angkat sebagai anak kandung sehingga
tidak boleh mengawini bekas istri mereka.
10. Zainab binti Khuzaimah ra.
Ia seorang janda, suaminya gugur dalam
perang Uhud dan tidak seorangpun dari kaum muslimin setelah itu mau
menikahinya. Kemudian rasulullah menikahinya.
11. Maryah Al-Qibthiyyah ra.
Ia seorang hamba sahaya, hadiah dari
penguasa Mesir, Muqauqis. Setelah dimerdekakan dan masuk Islam,
rasulullah menikahinya. Ia adalah satu-satunya istri rasulullah diluar
Khadijjah yang dikarunia anak walaupun kemudian meninggal ketika masih
berusia 18 bulan.
Rasulullah tidak pernah lagi menikahi
perempuan lain begitu turun perintah dari Sang Khalik untuk tidak lagi
menambah istri. Dari sini jelas terlihat bahwa perkawinan Rasulullah
adalah berdasarkan perintah Allah swt bukan atas kehendak dan kemauan
sendiri.
“Tidak halal bagimu mengawini
perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka
dengan isteri-isteri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu
kecuali perempuan-perempuan (hamba sahaya) yang kamu miliki. Dan adalah
Allah Maha Mengawasi segala sesuatu”. (QS.Al-Ahzab(33):52).
Selanjutnya para istri Rasulullah itu
diberi sebutan sebagai Ummul Mukminun atau ibu kaum Muslimin. Dan
setelah wafatnya Rasulullah Allah swt memuliakan mereka dengan melarang
mereka untuk menikah lagi. Dengan demikian di alam akhirat nanti mereka
akan berkumpul kembali dengan suami tercinta, Rasulullah saw.
” … … Dan tidak boleh kamu menyakiti
(hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri-isterinya
selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat
besar (dosanya) di sisi Allah”. (QS.Al-Ahzab(33):53)
( Bersambung)
2
Aug
Mempelajari Islam tidak cukup hanya
dengan membaca kitab sucinya saja yaitu Al-Quranul Karim. Mengapa
demikian? Ada beberapa penyebab mengapa untuk mengenal ajaran Islam
tidak cukup hanya dengan membaca kitab suci agama tersebut.
Al-Quran adalah kitab suci yang
diturunkan kepada Rasulullah Muhammad saw melalui perantaraan malaikat
Jibril as. Sebelum kitab ini Allah swt pernah menurunkan beberapa kitab
kepada para rasul, diantaranya kitab Zabur kepada nabi Daud as, kitab
Taurat kepada nabi Musa as dan kitab Injil kepada nabi Isa as Kitab-kita
tersebut diturunkan melalui malaikat yang sama, yaitu Jibril as.
Diantara kitab-kitab tersebut terdapat
sejumlah perbedaan dan persamaan. Persamaan yang mendasar adalah
perintah untuk menyembah hanya kepada Allah swt. Sedangkan perbedaan
mencolok terletak dari cara turunnya. Al-Quran turun secara
berangsur-angsur, yaitu selama 22 tahun 2 bulan dan 22 hari. Ayat –ayat
tersebut turun tidak dengan urutan seperti yang kita lihat saat ini.
Malaikat Jibrillah yang memberitahukan langsung kepada Rasulullah
bagaimana letak dan susunan ayat dalam surat harus diletakkan.
Perumpamaannya adalah seperti rak lemari
kosong yang telah diberi sekat, no dan tanda. Kemudian Rasulullah
tinggal memasukkan dan menyelipkannya sesuai no dan tanda yang tertera.
Susunan Al-Quran yang seperti ini sesuai dengan kitab yang ada
disisi-Nya dan dijaga ketat oleh para malaikat, yaitu yang ada di
Lauh-Mahfuz.
“Maka Aku bersumpah dengan tempat
beredarnya bintang-bintang. Sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang
besar kalau kamu mengetahui, sesungguhnya Al Qur’an ini adalah
bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh),
tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan semesta alam. Maka apakah kamu menganggap remeh saja Al Qur’an ini?” (QS.Al-Waqiyah(56):75-81).
Berkenaan dengan ayat diatas, Ad-Dhahak
meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra : ”Al-Quran diturunkan secara
keseluruhan dari sisi Allah, dari Lauh Mahfuz, melalui duta-duta
malaikat penulis wahyu, ke langit dunia, lalu para malaikat tersebut
menyampaikannya kepada Jibril secara berangsur-angsur selama 20 malam
dan selanjutnya diturunkan pula oleh Jibril as kepada Rasulullah saw
secara berangsur-angsur selama 23 tahun”. (22 tahun, 2 bulan 22
hari). Itu pula yang ditafsirkan Mujahid, Ikrimah, As-Sidi dan Abu
Hazrah.
Ayat-ayat turun begitu saja tanpa
penyebab tetapi tidak jarang pula diturunkan sebagai jawaban suatu
permasalahan atau keadaan tertentu dan bahkan ada yang turun atas
pertanyaan pribadi. Ini yang menjadi penyebab utama mengapa kitab suci
ini tidak dapat dibaca layaknya kitab-kitab lain, yaitu dibaca berurut
dari depan ke belakang lalu memahaminya secara tekstual.
Untuk dapat memahami dengan baik apa
yang dimaksud ayat-ayat Al-Quran diperlukan pemahaman latar belakang,
keadaan dan suasana ketika ayat turun disamping memahami bahasa Arab,
arti secara bahasa maupun secara istilah, khususnya yang berlaku umum
pada masa itu. Itulah urgensi mengenal, mengetahui dan memahami sejarah
kehidupan Muhammad saw, nabi yang mendapat kehormatan untuk menerima
kitab suci ini. Itulah yang disebut Sirah Nabawiyah.
Muhammad saw adalah seorang hamba Allah
yang sejak kecil bahkan calon ayah ibunyapun telah dipersiapkan secara
matang oleh Sang Khalik. Beliau adalah seorang hamba pilihan yang telah
ditunjuk secara terhornat untuk mengemban tugas maha berat, yaitu
menerima wahyu Allah dan kemudian menyampaikannya kepada umat manusia.
Yang tak lama setelah menunaikan misi suci tersebut dengan sangat
memuaskan maka Allahpun memanggilnya. Subhanallah …
Dengan mempelajari Sirah Nabawiyah inilah
kita dapat mengetahui makna sebenarnya perintah dan maksud ayat-ayat
suci al-Quran. Dengan mempelajari Sirah Nabawiyah kita dapat mengetahui
bagaimana Rasulullah memahami dan merespons perintah-perintah Tuhannya.
Uniknya, kadang perintah tersebut direspons Rasulullah tidak secara
kontekstual. Contohnya adalah cara berwudhu.
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,… ”. (QS Al-Maidah (5): 6).
Dalam prakteknya Rasulullah
menyempurnakan wudhu dengan membasuh tapak tangan, berkumur, memasukkan
dan megeluarkan air dari hidung serta membasuk kedua telinga. Dan Allah
swt tidak melarang hal tersebut. Artinya Sang Khalik meridhoi apa yang
dilakukan nabi. Jadi selama Allah swt mendiamkan dan tidak menegur apa
yang dilakukan Rasulullah, wajib kita mencontohnya.
“Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (QS.An-Nisa(4):80).
Dari sini tampak jelas bahwa untuk
memahami Al-Quran tidak cukup hanya dengan sekedar membacanya kemudian
mengartikan dan menafsirkannya sesuai pengetahuan dan pengertian akal
kita.
Para sahabat yang ketika itu sedang
berada di sisi Rasulullah adalah saksi turunnya ayat-ayat. Mereka tahu
persis bunyi ayat yang turun karena Rasulullah memang selalu langsung
menyampaikan apa yang diterimanya itu. Beliau bahkan memerintahkan
mereka untuk segera menghafalnya. Meski demikian dalam penerapannya
mereka tetap mengerjakan apa yang dicontohkan junjungan mereka itu.
Sebaliknya, bila dalam perjalanannya
ternyata ada sejumlah perbedaan penafsiran, ini harus dimaklumi. Karena
Rasulullah pada awalnya memang melarang menuliskan apa yang dikatakan,
dikerjakan dan diamnya Rasulullah karena khawatir bercampur dengan
ayat-ayat Al-Quran itu sendiri. Namun Rasulullah tetap memerintahkan
para sahabat agar mengingat, mencatat dalam hati dan kemudian
meneruskan serta menyampaikannya kepada yang lain. Yang juga harus
diingat, ada saat-saat dalam keadaan dan situasi tertentu dimana
Rasulullah menyikapinya dengan sikap dan cara berbeda.
Ini yang menjadi penyebab menambahnya
perbedaan hadits. Beruntung beberapa tahun setelah wafatnya Rasulullah,
sejumlah sahabat dan para tabi’in segera memutuskan untuk
menuliskannya. Ini dilakukan demi menjaga agar hadist tetap terjaga (
dengan bermacam perbedaannya) dan tidak makin sering dipalsukan baik
sengaja maupun tidak.
Tampaknya ini sudah menjadi sunatullah.
Perbedaan selama bukan mengenai hal-hal yang pokok dan masih mengikuti
apa yang pernah dicontohkan Rasulullah tetap dibenarkan. Kita tidak
boleh saling merasa bahwa kitalah yang benar dan pihak lain salah.
“ Perbedaan pendapat (di kalangan) umatku adalah rahmat”.(HR. Al-Baihaqi).
Sebaliknya orang yang suka mencari-cari
perbedaan secara sengaja, diantaranya dengan mentakwilkan ayat-ayat
Mutasyabihat, Allah melaknatmya. Tempat mereka adalah neraka jahanam. (
Ayat Mutasyabihat adalah ayat-ayat yang samar, yang seringkali
membutuhkan pemikiran yang bahkan seringkali memang tidak dapat
ditakwilkan. Contohnya adalah “Mim”, “ Nuun”, “ Alif Laam Miim” ) dan
yang semacamnya.
“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al
Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat
itulah pokok-pokok isi Al Qur’an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong
kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang
mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah”.(QS.Ali Imran(3):7).
Rasulullah saw telah lama meninggalkan
kita. Demikian pula para sahabat dan para tabi’in beserta generasinya.
Allah swt memerintahkan umat Islam tidak hanya mematuhi Allah dan
rasul-Nya namun juga para ulil amri atau pemimpin yang menjunjung tinggi
ayat-ayat-Nya. Demi mencegah perpecahan dan memberi manfaat yang
banyak bagi umat, mereka diberi keleluasaan memaknai ayat-ayat suci
Al-Quran dan hadits. Inilah ijma dan istihad yang bisa menjadi rujukan
umat.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.(QS.An-Nisa’(4)59).
Adalah tugas kita, umat Islam, saat ini,
untuk menjaga kesucian dan keutuhan Al-Quran, isi dan maknanya. Para
hafidz adalah garda terdepannya. Sementara kaum Muslimin dan Muslimat,
secara keseluruhan, wajib menjaganya minimal dengan mengetahui bagaimana
Rasulullah menyikapi dan memaknai isi Al-Quran tersebut. Inilah urgensi
mengenal Sirah Nabawiyah.
Wallahu’alam bish shawwab.
Jakarta, 1 Agustus 2011.
Vien AM.